Makalah Tafsir Ayat-ayat Tentang Ilmu Pengetahuan
Makalah Tafsir Ayat-ayat Tentang Ilmu Pengetahuan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Allah SWT
menciptakan
manusia dan memberinya akal tidak
lain adalah agar manusia mau
berfikir
terhadap berbagai kejadian atau fenomena yang terjadi di muka bumi ini sehingga
manusia mengenal berbagai macam tanda-tanda kebesaran-Nya. Allah SWT menciptakan
fitrah yang bersih dan mulia itu lalu melengkapinya dengan bakat dan sarana
pemahaman yang baik yang memungkinkan manusia mengetahui kenyataan-kenyataan
besar di alam jagat raya ini. Fitrah manusia mukmin mengarah ke alam raya untuk
mengungkap rahasia dan tujuan penciptaannya serta berakhir dengan memahami
posisi dirinya di alam raya ini dan menentukan bagaimana ia harus berbuat dan
bersikap di dalamnya. Ilmu yang diperoleh manusia semestinya dapat membuahkan
penanaman aqidah dan
pendalaman keimanan yang tulus kepada Allah.
Jika terjadi aliran
yang deras dalam kemajuan ilmu dan teknologi melalui penelitian terhadap
gejala-gejala alam dan kehidupan, sebenarnya sangat mengherankan jika orang-orang
yang lalai itu hanya berhenti pada batas studi yang bersifat mekanis dan tidak
menyeberang untuk menemukan rahasia-rahasia hukum Tuhan serta memahami hikmah
di balik ciptaan-Nya. Orang yang melihat laut hanya dari rasanya yang asin, atau bumi dari tanahnya, ataupun langit dari warnanya yang biru, ia tidak ubahnya seperti
hewan,
bahkan lebih rendah dan lebih sesat.
Sebagai makhluk yang diberi akal dan pikiran, manusia
dituntut untuk berpikir serta menggali ilmu karena Islam sendiri telah
mewajibkan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Berbicara tentang Ilmu Pengetahuan
dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ada persepsi bahwa Al-Qur’an itu adalah
kitab Ilmu Pengetahuan. Sekarang ini, di saat semua teknologi sudah
canggih, dunia membuktikan dengan banyaknya temuan-temuan terkini yang
ternyata semuanya sudah terdapat dalam Al-Qur’an yang diturunkan sekitar 14
abad yang lalu. Penafsiran Al-Quran sendiri seolah tidak pernah selesai, karena
setiap saat bisa muncul pembuktian yang baru, sehingga Al-Quran terasa selalu
segar karena dapat mengikuti perkembangan zaman. Pada kesempatan ini penulis
hendak sedikit mengulas tentang ayat-ayat Al-Quran tentang ilmu pengetahuan
beserta tafsir dan analisisnya. Semoga apa yang kami tulis dalam makalah ini sedikit membantu pembaca dalam
memperoleh khazanah-khazanah keislaman yang baru.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi ilmu
pengetahuan dalam islam?
2. Bagaimana kedudukan ilmu
pengetahuan dalam islam?
3. Bagaimana mengetahui dan
memahami ayat-ayat tentang ilmu pegetahuan beserta penafsirannya?
B. Tujuan
1. Mengetahui definisi ilmu pengetahuan dalam islam.
2. Memahami kedudukan ilmu pengetahuan
dalam islam.
3. Mengetahui dan memahami
ayat-ayat tentang ilmu pengetahuan beserta penafsirannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Ilmu adalah pengetahuan manusia mengenai segala hal yang
dapat diindera oleh potensi manusia (penglihatan, pendengaran, perasaan dan
keyakinan) melalui akal atau proses berfikir (logika). Ini adalah konsep umum
(barat) yang disebut (knowledge). Pengetahuan yang telah dirumuskan secara
sistematis merupakan formula yang disebut ilmu
pengetahuan (science). Dalam Al-Qur’an, keduanya disebut (ilmu). Para
sarjana muslim berpandangan bahwa yang dimaksud ilmu itu tidak terbatas pada
pengetahuan (knowledge) dan ilmu (sience) saja, melainkan justru diawali oleh
ilmu Allah yang dirumuskan dalam lauhul mahfudzh yang disampaikan kepada kita
melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah.[1]
Ilmu Allah
itu melingkupi semua ilmu, mencakup semua ilmu manusia, tentang alam semesta dan manusia
itu sendiri.
Bila diikuti jalan fikiran ini, maka dapatlah kita fahami bahwa Al-Qur’an
merupakan sumber pengetahuan bagi manusia (Knowledge dan science). Dengan membaca dan
memahami Al-Qur’an, manusia pada hakekatnya akan memahami ilmu Allah, yaitu
firman-firman-Nya.[2]
Jadi, berdasarkan fakta-fakta yang ada dan apa-apa yang
terkandung dalam al-qur’an, kita dapat membulatkan pernyataan bahwa
ilmu yang dimiliki oleh manusia dan yang wajib dituntut oleh manusia,
semua berporos pada agama. Agama yang menjunjung tinggi peran akal dalam
mengenal hakikat segala sesuatu. Begitu pentingnya peran akal, sehingga bahkan
dikatakan bahwa tak ada agama bagi orang yang tak berakal, dengan akal yang
telah sempurna itulah maka Islam diturunkan ke alam semesta. Melalui akal,
manusia dengan proses berfikir berusaha memahami berbagai realita yang hadir
dalam dirinya, sehingga manusia
mampu menemukan kebenaran sesuatu, membedakan antara yang haq dengan yang bathil.
Sehingga dapat dikatakan bahwa akal dan
kemampuan berfikir yang
dimiliki manusia adalah fitrah manusia yang membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain.
B. Kedudukan Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Sebagai orang yang rendah pengetahuan keislamannya
beranggapan bahwa Al-Qur’an adalah sekedar kumpulan cerita-cerita kuno yang
tidak mempunyai manfaat yang signifikan terhadap kehidupan modern, apalagi jika
dikolerasikan dengan kemajuan IPTEK saat ini. Al-Qur’an menuntut mereka
cukuplah dibaca untuk sekedar mendapatkan pahala bacaannya, tidak untuk digali
kandungan ilmu didalamnya, apalagi untuk menjawab permasalahan-permasalahan
dunia modern dan diterapkan dalam segala aspek kehidupan, hal itu adalah
sesuatu yang keliru. Anggapan-anggapan di atas merupakan indikasi bahwa orang
tersebut tidak mau berusaha untuk membuka Al-Qur’an dan menganalisis kandungan
ayat-ayatnya. Oleh karenanya maka anggapan tersebut adalah sangat keliru dan
bertolak belakang dengan semangat Al-Qur’an itu sendiri. Bukti-bukti ini yang
menunjukkan sebaliknya misalnya, bahwa wahyu yang pertama kali diturunkan oleh
Allah SWT kepada Nabi-Nya Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca/belajar
dan menggunakan akal, bukan perintah untuk shalat, puasa atau dzikrullah.
Demikian tinggi hikmah turunnya ayat ini, menunjukkan perhatian Islam yang
besar terhadap ilmu pengetahuan.[1]
Sejarah
menunjukkan, bahwa pada masa kaum muslimin mempelajari dan melaksanakan
agamanya dengan benar, maka mereka memimpin dunia dengan pakar-pakar yang
menguasai dalam disiplin ilmunya masing-masing, sehingga Barat pun
belajar dari mereka. Baru di masa kaum muslimin meninggalkan ajaran agamanya
dan tergiur dengan kenikmatan duniawi dan berpaling ke barat, maka Allah SWT
merendahkan dan menghinakan mereka. Sungguh telah benar Rasulullah SAW yang
telah memperingatkan umatnya dalam hal ini. Karena kedudukan ilmu yang
sedemikian tingginya, maka islam mewajibkan umatnya untuk memperlajari ilmu.[2]
C. Ayat-ayat tentang Ilmu Pengetahuan
1. Surat Al-Baqarah (31-32)
وَعَلَّمَ ءَادَمَ ٱلۡأَسۡمَآءَ كُلَّهَا ثُمَّ عَرَضَهُمۡ عَلَى
ٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ فَقَالَ أَنۢبُِٔونِي بِأَسۡمَآءِ هَٰٓؤُلَآءِ إِن كُنتُمۡ
صَٰدِقِينَ ٣١ قَالُواْ سُبۡحَٰنَكَ لَا عِلۡمَ لَنَآ إِلَّا مَا عَلَّمۡتَنَآۖ
إِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَلِيمُ ٱلۡحَكِيمُ ٣٢
Artinya :
Dan Dia
mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!
(31). Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui
selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; sesungguhnya Engkaulah
Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" (32).
Pada
firman-Nya : “kemudian Dia memaparkannya kepada malaikat..”, ada
yang memahaminya sebagai waktu yang relatif lama antara pengajaran Adam dan
pemaparan itu, dan ada juga yang memahaminya bukan dalam arti selang waktu,
tetapi sebagai isyarat tentang kedudukan yang lebih tinggi, dalam arti
pemaparan serta ketidakmampuan malaikat dan jelasnya keistimewaan Adam as.
melalui pengetahuan yang dimilikinya, serta terbuktinya ketetapan kebijaksanaan
Allah menyangkut pengangkatan Adam as. sebagai kholifah, semua itu lebih tinggi
nilainya dari pada sekedar informasi tentang pengajaran Allah kepada Adam yang
dikandung oleh penggalan ayat sebelumnya. Firman-Nya : “innaka
anta al-‘alim al-hakim / sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui (lagi)
Maha Bijaksana”, mengandung dua kata yang menunjukkan kepada mitra
bicara yaitu huruf (ك) kaf pada kata
( إنك) innaka dan
kata (أنت) anta. Kata
anta oleh banyak ulama dipahami dalam arti penguat sekaligus untuk memberi
makna pengkhususan yang tertuju kepada Allah swt. Dalam hal ini pengetahuan dan
hikmah, sehingga penggalan ayat ini menyatakan “Sesungguhnya hanya
Engkau tidak ada selain Engkau” Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Kata (العليم) al-‘alim
terambil dari akar kata (علم) ‘ilm yang
menurut pakar-pakar bahasa berarti menjangkau sesuatu sesuai dengan keadaannya
yang sebenarnya. Allah swt. dinamai (عالم) ‘aalim atau
(عليم) ‘alim karena
pengetahuan-Nya yang amat jelas sehingga terungkap baginya hal-hal yang
sekecil-kecilnya apapun. Kata (الحكيم) al-hakim dipahami
oleh sementara ulama dalam arti Yang Memiliki hikmah, sedang hikmah lain
berarti mengetahui yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan
maupun perbuatan. Seorang yang ahli dalam melakukan sesuatu dinamai (حكيم) hakim,
hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan atau diperhatikan akan
menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang lebih besar dan atau
mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang lebih besar. Makna ini ditarik
dari kata (حكمة) hakamah,
yang berarti kendali karena kendali menghalangi hewan atau kendaraan mengarah
ke arah yang tidak diinginkan.[3]
Analisa :
Ayat ini menjelaskan tentang kebijaksanaan Allah dalam
menetapkan Adam sebagai khalifah berkat keistimewaan Adam a.s melalui
pengetahuan yang dimilikinya serta kekeliruan malaikat sebagaimana
dipahami dari kata kemudian Allah mepaparkan benda-benda itu
kepada para malaikat lalu berfirman, “ sebutkan kepada ku nama-nama
benda itu, jika kamu orang-orang yang benar dalam dugaan kamu bahwa kalian
lebih wajar menjadi khalifah”. Sebenarnya perintah ini bukan bertujuan
menugaskan menjawab. Para malaikat yang ditanya itu secara tulus menjawab
sambil mensucikan Allah, tidak ada pengetahuan bagi kami selain dari apa yang
telah engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya engkaulah yang maha mengetahui
lagi maha bijaksana maksudnya mereka, apa yang engkau tanyakan itu tidak pernah
engkau ajarkan kepada kami. Engkau tidak ajarkan kepada kami bukan karna engkau
tidak tau, tetapi ada hikmah dibalik itu. Demikian jawaban malaikat yang bukan
hanya mengakui tidak mengetahui jawaban pertanyaan tetapi sekaligus mengakui
kelemahan mereka dan kesucian Allah SWT. Dari segala macam kekurangan atau
ketidakadilan, sebagaimana dipahami dari penutup surat ini. Jawaban
para malaikat sesungguhnya Engkau mengatahui lagi maha bijaksana,
juga mengandung makna bahwa sumber pengetahuan adalah Allah SWT. Jadi, Allah
maha mengetahui segala sesuatu, termasuk yang wajar menjadi khalifah, dan Dia
maha bijaksana dalam segala tindakannya, termasuk menetapkan mahluk yang wajar
menjadi khalifah.
2. Surat Taubah (9) ayat 122
۞وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا
نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ
وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ
١٢٢
Artinya :
Tidak
sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak
pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.
Tafsir Ayat
:
Anjuran
yang demikian gencar, pahala yang demikian besar bagi yang berjihad, serta
kecaman yang sebelumnya ditujukan kepada yang enggan, menjadikan kaum beriman
berduyun-duyun dan dengan penuh semangat maju ke medan juang. Ini tidak pada
tempatnya karena ada area perjuangan lain yang harus dipikul. Ulama yang
menyatakan bahwa ketika Rasul saw. tiba kembali di Madinah, beliau mengutus
pasukan yang terdiri dari beberapa orang ke beberapa daerah. Hal ini banyak
sekali yang ingin terlibat dalam pasukan kecil itu sehingga jika diperturutkan,
tidak akan ada yang tinggal di Madinah bersama Rasul kecuali beberapa gelintir orang
saja. Maka dalam hal ini ayat ini menuntun kaum muslimin untuk membagi tugas
dengan menyatakan : Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin yang
selama ini dianjurkan agar bergegas menuju medan perang pergi semua ke
medan perang sehingga tidak tersedia lagi yang
melaksanakan tugas-tugas yang lain. Jika memang tidak ada panggilan
yang bersifat mobilisasi umum, maka mengapa tidak pergi dari setiap
golongan, yakni kelompok besar, di antara mereka beberapa
orang dari golongan itu untuk bersungguh-sungguh memperdalam
pengetahuan tentang agama sehingga mereka dapat memperoleh manfaat
untuk diri mereka dan untuk orang lain dan juga untuk memberi
peringataan kepada kaum mereka yang menjadikan anggota pasukan yang
ditugaskan oleh Rasul saw. itu apabila nanti setelah selesainya tugas, mereka, yakni
anggota pasukan itu, telah kembali kepada mereka yang
memperdalam pengetahuan itu supaya mereka yang jauh dari Rasul
saw. karena tugasnya dapat berhati-hati dan menjaga diri
mereka.[4]
Menurut
al-Biqa’i sebagaimana dikutip Quraish menyatakan bahwa kata thaaifah dapat
berarti satu atau dua orang. Sementara ulama yang lain tidak menentukan jumlah
tertentu, namun yang jelas ia lebih kecil dari firqah yang bermakna . Sekelompok
manusia yang berbeda dengan kelompok yang lain. Karena
itu, satu suku atau bangsa, masing-masing dapat dinamai dengan firqah. Sedangkan
kata liyatafaqqahuu terambil dari kata fiqh, yakni
pengetahuan yang mendalam menyangkut hal-hal yang sulit dan tersembunyi. Bukan
hanya sekadar pengetahuan. Penambahan huruf taa pada kata
tersebut mengandung makna kesungguhan upaya, yang dengan keberhasilan upaya itu
para pelaku menjadi pakar-pakar dalam bidangnya. Demikianlah kata-kata tersebut
mengundang kaum muslimin untuk menjadi pakar-pakar pengetahuan. Sementara
kata fiqh bukan terbatas pada apa yang diistilahkan dalam
disiplin ilmu agama dengan ilmu fiqh, yakni pengetahuan tentang
hukum-hukum agama islam yang bersifat praktis dan yang diperoleh melalui
penalaran terhadap dalil-dalil yang terperinci. Tetapi, kata itu mencakup
segala macam pengetahuan mendalam. [5]
Analisa :
Orang-orang
yang beriman tidak wajib pergi semua untuk berjihad dan meninggalkan negeri
mereka dalam keadaan kosong. Tapi harus tetap ada yang tinggal disana dan satu
kelompok lagi yang keluar menuntut ilmu yang bermanfaat. Apabila mereka kembali
ke kampung halaman, mereka wajib mengajarkan ilmu yang diperoleh kepada kaumnya
yang tidak ikut menuntut ilmu. Mereka harus memberikan pemahaman kepada kaumnya
tentang agama Allah SWT, memperingatkan mereka akan bahaya maksiat dan
melanggar perintah-Nya. Menyerukan supaya mereka bertakwa kepada Tuhan mereka
dengan mengamalkan kitab-Nya dan sunnah Nabi SAW.
3. Surat Az-Zumar (39) ayat 9
أَمَّنۡ هُوَ قَٰنِتٌ ءَانَآءَ ٱلَّيۡلِ سَاجِدٗا وَقَآئِمٗا
يَحۡذَرُ ٱلۡأٓخِرَةَ وَيَرۡجُواْ رَحۡمَةَ رَبِّهِۦۗ قُلۡ هَلۡ يَسۡتَوِي
ٱلَّذِينَ يَعۡلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعۡلَمُونَۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ
أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٩
Artinya :
(Apakah
kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di
waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab)
akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?"
Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat menerima pelajaran.
Tafsir Ayat:
Allah
berfirman : Apakah orang yang beribadah secara tekun dan tulus di
waktu-waktu malam dalam keadaan sujud akan berdiri secara mantap
demikian juga yang rukuk dan duduk atau berbaring, sedang ia terus
menerus takut siksa akhirat dan saat yang sama senantiasa mengharapkan
rahmat Tuhannya sama dengan mereka yang baru berdoa saat mendapat
musibah dan melupakan-Nya ketika memperoleh nikmat serta menjadikan bagi Allah
sekutu-sekutu? Tentu saja tidak sama! Katakanlah : “Adakah sama
orang-orang yang mengetahui hak-hak Allah dan mengesakan-Nya dengan
orang yang tidak mengetahui hak Allah dan mengkufuri-Nya? Sesungguhnya
orang yang dapat menarik banyak pelajaran adalah Ulul Albab,
yakni orang-orang yang cerah pikirannya.[6]
Awal
ayat di atas ada yang membacanya aman dalam bentuk pertanyaan
dan ada juga yang membacanya amman. Yang pertama merupakan
bacaan Naafi, ini merupakan pendapat Ibnu Katsir, dan Hamzah. Ia
terdiri dari huruf alif dan man yang
berarti siapa. Kata man berfungsi sebagai subjek (mubtada),
sedang predikat (khabar)-nya tidak tercantum karena telah diisyaratkan
oleh kalimat sebelumnya yang menyatakan bahwa orang-orang kafir mengada-adakan
bagi Allah sekutu-sekutu dan seterusnya. Menurut Quraish
bahwa bacaan kedua amman adalah bacaan mayoritas ulama. Ini
pada mulanya terdiri dari dua kata yaitu am dan man,
lalu digabung dalam bacaan dan tulisannya. Ia mengandung dua kemungkinan makna.
Yang pertama kata am yang berfungsi sebagai
kata yang digunakan bertanya. Maka dengan demikian ayat ini bagaikan menyatakan
“Apakah si kafir yang mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah sama dengan yang
percaya dan tekun beribadah? Yang kedua, kata am berfungsi
memindahkan uraian ke uraian yang lain, serupa dengan kata bahkan. Makna ini
menjadikan ayat di atas bagaikan menyatakan. “ Tidak usah mengancam mereka,
tapi tanyakanlah apakah sama yang mengada-adakan sekutu bagi Allah dengan yang
tekun beribadah? Sedangkan kata qaanit terambil dari
kata qanuut, yaitu ketekunan dalam ketaatan disertai dengan
ketundukan hati dan ketulusannya. Sementara itu, ulama menyebut juga nama-nama
tertentu bagi tokoh yang dinamai qaanit oleh ayat di atas,
seperti Sayyidina Abu Bakar, atau ‘Ammar Ibnu Yasir ra. dan lain-lain. Ini
merupakan contoh dari sekian tokoh yang dapat menyandang sifat tersebut. Dengan
kata lain ayat di atas menggambarkan sikap lahir dan batin siapa yang tekun
itu. Sikap lahirnya digambarkan oleh kata-kata saajidan/ sujud dan qaaiman/
berdiri sedangkan sikap batinnya dilukiskan oleh kalimat yahdzaru
al-akhirata wa yarjuu ar-rahmah/ takut kepada akhirat dan mengharapkan rahmat
Tuhannya. [7]
Analisa :
Pada ayat tersebut terlihat adanya hubungan orang yang mengetahui
(berilmu) dengan melakukan ibadah di waktu malam, takut terhadap siksaan Allah
di akhirat serta mengaharapkan ridha dari Allah; dan juga menerangkan bahwa
sikap yang demikian itu merupakan salah satu ciri dari ulul al-bab,
yaitu orang yang menggunakan hati untuk menggunakan dan mengarahkan ilmu
pengetahuan tersebut pada tujuan peningkatan akidah, ketekunan beribadah dan
ketinggian akhlak yang mulia. Baca juga : Ilmu Dakwah Dan Macam-macamnya
Sehubungan dengan ayat هل يستوى
الّذين يعلمون والّذين لا يعلمون, al-Maraghi mengatakan: “Katakanlah hai
rasul kepada kaummu, adakah sama, orang-orang yang menengetahui bahwa ia akan
mendapatkan pahala karena ketaatan kepada tuhannya dan akan mendapatkan siksaan
disebabkan karena kedurhakaannya dengan orang yang mengetahui al-hal yang
demikian itu?” Ungkapan pertanyaan dalam ayat ini menunjukan bahwa yang pertama
(orang-orang yang mengetahui) akan dapat mencapai derajat kebaikan; sedangkan
yang kedua (-orang-orang yang tidak mengetahui) akan mendapatkan kehinaan dan
keburukan.
Imam Al Qurtubi berkata: "Menurut Az-Zujaj
Radhiyallahuanhu, maksud ayat tersebut yaitu orang yang tahu berbeda dengan
orang yang tidak tahu, demikian juga orang taat tidaklah sama dengan orang
bermaksiat. Orang yang mengetahui adalah orang yang dapat mengambil manfaat dari
ilmu serta mengamalkannya. Dan orang yang tidak mengambil manfaat dari ilmu
serta tidak mengamalkannya, maka ia berada dalam barisan orang yang tidak
mengetahui".
4. Surat Mujaadalah
(58) ayat 11
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قِيلَ لَكُمۡ
تَفَسَّحُواْ فِي ٱلۡمَجَٰلِسِ فَٱفۡسَحُواْ يَفۡسَحِ ٱللَّهُ لَكُمۡۖ وَإِذَا
قِيلَ ٱنشُزُواْ فَٱنشُزُواْ يَرۡفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ
وَٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡعِلۡمَ دَرَجَٰتٖۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٞ
١١
Artinya :
Hai
orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam
majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.
Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.
Tafsir
Ayat :
Allah
berfirman: Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepada kamu, oleh
siapapun: “Berlapang-lapanglah, yakni berupayalah dengan
sungguh-sungguh walau dengan memaksakan diri untuk memberikan tempat pada orang
lain, dalam majelis-majelis, yakni satu tempat, baik itu tempat
duduk maupun bukan untuk duduk, apabila diminta kepada kamu untuk melakukan itu
maka lapangkanlah tempat itu untuk orang lain itu dengan
sukarela. Maka jika kamu melakukan hal tersebut, niscaya Allah akan
melapangkan segala sesuatu buat kamu dalam hidup ini. Dan apabila
dikatakan : Berdirilah kamu ke tempat yang lain, atau duduk diduduki
tempatmu buat orang yang lebih wajar, atau bangkitlah untuk melakukan sesuatu
seperti untuk shalat dan berjihad, maka berdiri dan bangkitlah, Allah akan
meninggikan orang-orang beriman di antara kamu, wahai yang memperkenankan
tuntunan ini, dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat
kemuliaan di dunia dan di akhirat dan Allah Maha mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan
sekarang dan masa datang. [8]
Kata tafassahuu dan ifsahuu pada
ayat tersebut, terambil dari kata fasaha, yakni lapang.
Sedangkan kata unsyuzuu diambil dari kata nuzuz,
yakni tempat yang tinggi. Perintah tersebut pada mulanya
berarti beralih ke tempat yang lebih tinggi. Yang dimaksudkan
adalah pindah ke tempat lain untuk memberikan kesempatan kepada yang lebih
wajar duduk atau berada di tempat yang wajar pindah itu atau bangkit melakukan
suau aktifitas yang positif. Sementara itu, ada juga yang memahaminya dengan
berdirilah dari rumah Nabi, jangan berlama-lama di sana, karena boleh jadi ada
kepentingan Nabi SAW. yang lain dan yang perlu segera Beliau hadapi. Sedangkan
kata majaalis adalah bentuk jamak dari majelis.
Pada umumnya berarti tempat duduk. Dalam konteks ayat ini adalah tempat Nabi
SAW memberikan tuntunan agama ketika itu. Tetapi yang dimaksud di sini
adalah tempat keberadaan secara mutlak, baik itu tempat duduk,
tempat berdiri, atau bahkan tempat berbaring. Karena, tujuan perintah atau
tuntunan ayat ini adalah memberi tempat yang wajar secara mengalah kepada
orang-orang yang dihormati atau pun orang-orang yang lemah. Seorang tua
non-muslim sekalipun.[9]
Analisa
:
Dari ayat tersebut dapat kita ketahui bahwa para sahabat
berlomba-lomba untuk berdekatan dengan tempat duduk Rasulallah SAW untuk
mendengarkan pembicaraan beliau yang mengandung banyak kebaikan dan keutamaan
yang besar. Diperintahkan pula untuk memberi kelonggaran dalam majlis dan tidak
merapatkannya, dan apabila yang demikian ini menimbulkan rasa cinta didalam
hati dan kebersamaan dalam mendengarkan hukum-hukum agama, maka akan dilapangkan
baginya kebaikan-kebaikan di dunia dan akhirat.
Isi kandungan pada ayat diatas berbicara tentang etika
atau akhlak ketika berada dalam majelis ilmu. Etika dan akhlak tersebut antara
lain ditunjukan untuk mendukung terciptanya ketertiban, kenyamanan dan
ketenangan suasana dalam majelis, sehingga dapat mendukung kelancaran kegiatan
ilmu pengetahuan. Ayat diatas juga sering digunakan para ahli untuk mendorong
diadakannya kegiatan di bidang ilmu pengetahuan, dengan cara mengunjungi atau
mengadakan dan menghadiri majeis ilmu. Dan orang yang mendapatkan ilmu itu
selanjutnya akan mencapai derajat yang tinggi dari Allah.
Menurut Imam Al Qurthubi "Maksud ayat di atas yaitu,
dalam hal pahala di akhirat dan kemuliaan di dunia, Allah Subhanahu wa Taala
akan meninggikan orang beriman dan berilmu di atas orang yang tidak berilmu.
Kata Ibnu Mas`ud, dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Taala memuji para ulama.
Dan makna bahwa Allah Subhanahu wa Ta ala akan meninggikan orang-orang yang
diberi ilmu beberapa derajat, adalah derajat dalam hal agama, apabila mereka
melakukan perintah- perintah Allah". Baca Juga : hakikat ilmu pengetahuan
5. Surat Al-Alaq (96) ayat 1-5
ٱقۡرَأۡ بِٱسۡمِ رَبِّكَ ٱلَّذِي خَلَقَ ١ خَلَقَ
ٱلۡإِنسَٰنَ مِنۡ عَلَقٍ ٢ ٱقۡرَأۡوَرَبُّكَ ٱلۡأَكۡرَمُ ٣ ٱلَّذِي
عَلَّمَ بِٱلۡقَلَمِ ٤ عَلَّمَ ٱلۡإِنسَٰنَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡ ٥
Artinya
:
Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (1). Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3).
Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (4). Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya (5).
Tafsir Ayat :
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang
menciptakan” (ayat 1). Dari suku kata pertama saja
yaitu “bacalah”, telah terbuka kepentingan pertama dalam perkembangan agama ini
selanjutnya. Nabi Muhammad disuruh untuk membaca wahyu yang akan diturunkan
kepada beliau atas nama Allah, tuhan yang telah menciptakan. Yaitu “Menciptakan manusia dari segumpal darah” (ayat 2). Yaitu peringkat yang kedua sesudah nuthfah.
Yaitu segumpal air yang telah berpadu dari mani si laki-laki dengan mani si
perempuan yang setelah 40 hari lamanya, air itu akan menjelma menjadi segumpal
darah dan dari segumpal darah itu kelak setelah 40 hari akan menjadi segumpal
daging. “Bacalah, dan tuhanmu itu
adalah maha mulia”(ayat 3).[10]
Setelah pada ayat pertama beliau menyuruh membaca dengan nama allah yang
menciptakan manusia dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruh membaca
diatas nama tuhan. Sedang nama tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran
hidup itu ialah Allah yang maha mulia, maha dermawan, maha kasih dan saying
kepada mahluknya. “Dia yang
mengajarkan dengan kalam”(ayat 4).
Itulah istimewanya tuhan itu lagi. Itulah kemulianya yang tertinggi. Yaitu
diajarkanya kepada manusia berbagai ilmu, dibukanya berbagai rahasia,
diserahkanya berbagai kunci untuk pembuka perbendaharaan Allah yaitu dengan
qalam. Dengan pena disamping lidah untuk membaca, tuhanpun mentaksirkan pula
bahwa dengan pena ilmu dapat dicatat. Pena itu kaku dan beku serta tidak
hidup namun yang dituliskan oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat
difahami oleh manusia “Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu”
(Ayat 5). Terlebih dahulu Allah ta’ala mengajar manusia mempergunakan qalam.
Sesudah dia pandai mempergunakan qalam itu banyaklah ilmu pengetahuan diberikan
oleh allah kepadanya, sehingga dapat pula dicatat ilmu yang baru didapatnya itu
dengan qalam yang sudah ada dalam tanganya.[11]
Analisa :
Berdasarkan
ayat tersebut Rasululallah disuruh untuk membaca agar menjadi orang
yang bisa membaca sebelum tadinya tidak. Betapa pentingnya membaca itu,
bahkan sesungguhnya setiap detik hidup ini adalah membaca.
Tanpa membaca, orang akan kesulitan untuk mempelajari ilmu
pengetahuan. Setiap orang bisa saja membaca objek yang sama. Namun yang
membedakan adalah kualitas pembacaannya. Pada masa jahiliyyah dahulu, kondisi
kehidupan masyarakat didominasi oleh pembacaan yang salah. Membaca yang benar
dalam arti menyeluruh harus menjadi bagian dari hidup seorang muslim. Manusia
dapat baru dapat dimintai pertanggungjawaban setelah mampu membaca dalam arti
luas. Sebab kemampuan membaca adalah tanda berfungsinya akal seseorang. Dikutip
dari sebuah hadits, “Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal”. Kualitas
pembacaan juga ditandai dengan kedalaman atau kejauhan pandangan. Dengan hanya
sedikit indikator atau tanda, seharusnya setiap Muslim mampu membaca jauh
melebihi apa yang dilihatnya.
Dalam
ayat tersebut dapat diketahui perintah Allah SWT kepada manusia untuk menuntut
ilmu, dan dijelaskan pula sarana yang digunakan untuk menuntut ilmu yaitu
kalam. Mencari ilmu adalah sebuah kewajiban bagi umat manusia dan
mengamalkannya juga merupakan ibadah. Semakin tinggi ilmu yang dikuasai,
semakin takut pula kepada Allah SWT sehingga dengan sendirinya akan mendekatkan
diri kepada-Nya. Adapun dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa
Al-Asy’ari radhiyallahu 'anhu, Rasulullah SAW bersabda:
"Perumpamaan apa yang aku bawa dari petunjuk dan
ilmu adalah seperti air hujan yang banyak yang menyirami bumi, maka di antara
bumi tersebut terdapat tanah yang subur, menyerap air lalu menumbuhkan rumput
dan ilalang yang banyak. Dan di antaranya terdapat tanah yang kering yang dapat
menahan air maka Allah memberikan manfaat kepada manusia dengannya sehingga
mereka bisa minum darinya, mengairi tanaman dengannya dan bercocok tanam dengan
airnya. Dan air hujan itu pun ada juga yang turun kepada tanah/lembah yang
tandus, tidak bisa menahan air dan tidak pula menumbuhkan rumput-rumputan.
Itulah perumpamaan orang yang memahami agama Allah dan orang yang mengambil
manfaat dengan apa yang aku bawa, maka ia mengetahui dan mengajarkan ilmunya
kepada yang lainnya, dan perumpamaan orang yang tidak perhatian sama sekali
dengan ilmu tersebut dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku diutus
dengannya." (HR. Al-Bukhariy)
Di
dalam hadits ini terdapat pengarahan dari Nabi SAW agar bersemangat
untuk mencari ilmu, yaitu beliau SAW memberikan perumpamaan terhadap
apa yang beliau bawa, yaitu hujan yang menyeluruh di mana manusia mengambil dan
memanfaatkan air hujan tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kemudian
beliau SAW menyerupakan orang yang mendengar ilmu dengan bumi/tanah yang
bermacam-macam dimana air hujan (ilmu) turun padanya:
1. Diantara
mereka ada orang yang berilmu, beramal dan mengajarkan ilmunya kepada yang
lainnya, maka orang ini seperti tanah yang baik, yang menyerap air lalu
memberikan manfaat pada dirinya dan menumbuhkan tanaman dan rumput-rumputan
sehingga memberikan manfaat bagi yang lainnya.
2. Diantara
mereka ada yang mengumpulkan ilmu yang dia sibuk dengannya, di mana ilmu
tersebut dimanfaatkan pada masanya dan masa setelahnya dalam keadaan dia belum
bisa mengamalkan sebagian darinya atau belum bisa memahami apa yang dia
kumpulkan, akan tetapi dia sampaikan kepada yang lainnya, maka orang ini
seperti tanah yang menahan air sehingga manusia dapat mengambil manfaat
darinya.
3. Dan
di antara mereka ada orang yang mendengar ilmu tetapi tidak menghafalnya, tidak
beramal dengannya dan tidak pula menyampaikannya kepada yang lainnya, maka
orang ini seperti tanah lumpur atau tanah tandus yang tidak dapat
menerima/menampung air.
Kelompok
pertama dan kedua dalam perumpamaan tersebut kelak akan dikumpulkan menjadi
satu karena kebersamaan mereka dalam memanfaatkan ilmu yang mereka miliki
walaupun derajat kemanfaatannya bertingkat-tingkat. Dan kelompok ketiga yang
tercela akan dipisahkan dari kelompok satu dan dua karena tidak adanya
kemanfaatan darinya. Dan tidak diragukan lagi bahwasanya terdapat perbedaan
yang besar antara orang yang mencari ilmu lalu memberikan manfaat pada dirinya
dan orang lain dengan orang yang rela dengan kebodohan dan hidup dalam
kegelapannya sehingga dia tidak mendapat bagian sedikit pun dari warisannya
para Nabi.[12]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi peran akal
dalam mengenal hakikat segala sesuatu. Begitu pentingnya peran akal, sehingga
bahkan dikatakan bahwa tak ada agama bagi orang yang tak berakal, dengan akal
yang telah sempurna itulah maka Islam diturunkan ke alam semesta.
Allah akan meninggikan tempat bagiorang-orang yang berilmu
disurganya dan menjadikan mereka di dalam surga termasuk orang-orang yang
berbakti tanpa kekhwatiran dan kesedihan. Mencari ilmu adalah sebuah kewajiban
bagi umat manusia dan mengamalkannya juga merupakan ibadah. Semakin tinggi ilmu
yang dikuasai, semakin takut pula kepada Allah SWT sehingga dengan sendirinya
akan mendekatkan diri kepada-Nya.
B. Saran
Demikian makalah ini penyusun buat, penyusun mohon maaf
apabila dalam pembuatan makalah ini terdapat kekurangan. Penyusun meminta
kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah kami selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka. 1998. Tafsir Al-Azhar. jilid 10.
Jakarta : Pustaka Panjimas.
Masjqoery, Qohar. 2003. Pendidikan Agama Islam.
Jakarta : Gunadarma.
Comments
Post a Comment