Ayat-ayat tentang Manusia

AYAT-AYAT TENTANG MANUSIA


Asal Kejadian Manusia

Allah SWT. Menciptakan manusia tentunya mempunyai tujuan, bukan hanya sekedar main-main atau iseng-iseng semata. Asal usul manusia di dalam Islam dapat dijelaskan dalam proses penciptaan manusia pertama yakni Nabi Adam As. Nabi Adam AS adalah manusia pertama yang diciptakan oleh Allah SWT dan diberikan ilmu pengetahuan dan kesempurnaan dengan segala karakternya. Allah mengangkat Adam dan manusia sebagai khalifah dimuka bumi sebagaimana dijelaskan dalam ayat berikut ini


“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: ‘Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.’” (al-Baqarah: 30)


1.Asbabun Nuzul

            Dengan dua ayat berturut-turut, yaitu ayat 28 dan 29 perhatikan ketika Insan ini disadarkan oleh Tuhan. Pertama, bagaimana kamu akan kufur kepada Allah, padahal dari mati kamu Dia hidupkan. Kemudian Dia matikan, setelah itu akan dihidupkanNya kembali untuk memperhitungkan amal.
            Bagaimana kamu akan kufur kepada Allah, padahal seluruh isi bumi telah disediakan untuk kamu. Lebih dahulu persediaan untuk menerima kedatanganmu dibumi telah disiapkan, bahkan dari amar perintah kepada ketujuh langit sendiri. Kalau demikian adanya, pikirkanlah siapa engkau ini. Buat apa kamu diciptakan. Kemudian datanglah ayat khalifah.


2.Tafsir Ibnu Katsir Surat Al-Baqarah Ayat 30

Allah memberitahukan ihwal penganugerahan karunia-Nya kepada anak cucu Adam, yaitu berupa penghormatan kepada mereka dengan

membicarakan mereka di hadapan “al mala-ul a’laa” (para malaikat), sebelum mereka diciptakan. Dia berfirman: wa idz qaala rabbuka lil malaa-ikati (“Dan ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat”) artinya, hai Muhammad, ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat, dan ceritakan pula hal itu kepada kaummu.
Innii jaa’ilun fil ardli khaliifata (“Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.”) Yakni suatu kaum yang akan menggantikan satu kaum lainnya,kurun demi kurun, dan generasi demi generasi, sebagaimana firman-Nya: Huwal ladzii ja’alakum khalaa-ifa fil ardli (“Dia-lah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi.”) (QS. A1-An’aam: 165).
Juga firman-Nya: “Kalau Kami menghendaki, benar-benar Kami jadikan sebagai gantimu di muka bumi ini malaikat-malaikat yang turun temurun.” (QS. Az-Zukhruf: 60).
Yang jelas bahwa Allah tidak hanya menghendaki Adam saja, karena jika yang dikehendaki hanya Adam, niscaya tidak tepat pertanyaan malaikat, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi ini orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.”
Artinya, para malaikat itu bermaksud bahwa di antara jenis makhluk ini terdapat orang yang akan melakukan hal tersebut. Seolah- olah para malaikat mengetahui hal itu berdasarkan ilmu khusus, atau mereka memahami dari kata “Khalifah ” yaitu orang yang memutuskan perkara di antara manusia tentang kezaliman yang terjadi di tengah-tengah mereka, dan mencegah mereka dari perbuatan terlarang dan dosa. Demikian yang dikemukakan oleh al-Qurthubi.
Atau mereka membandingkan manusia dengan makhluk sebelumnya. Ucapan malaikat ini bukan sebagai penentangan terhadap Allah atau kedengkian terhadap anak cucu Adam, sebagaimana yang diperkirakan oleh sebagian mufassir. Mereka ini telah disifati Allah swt. sebagai makhluk yang tidak mendahului-Nya dengan ucapan, yaitu tidak menanyakan sesuatu yang tidak Dia izinkan.
Di sini tatkala Allah swt telah memberitahukan kepada mereka bahwa Dia akan menciptakan makhluk di bumi, Qatadah mengatakan, “Para malaikat telah mengetahui bahwa mereka akan melakukan kerusakan di muka bumi,” maka mereka bertanya, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi ini orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah.” Pertanyaan itu hanya dimaksudkan untuk meminta penjelasan dan keterangan tentang hikmah yang terdapat di dalamnya.
Maka untuk memberikan jawaban atas pertanyaan para malaikat itu, Allah swt. berfirman, innii a’lamu maa laa ta’lamuun (“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”) Artinya, Aku (Allah) mengetahui dalam penciptaan golongan ini (manusia) terdapat kemaslahatan yang lebih besar daripada kerusakan yang kalian khawatirkan, dan kalian tidak mengetahui, bahwa Aku akan menjadikan di antara mereka para nabi dan rasul yang diutus ke tengah-tengah mereka. Dan di antara mereka juga terdapat para shiddiqun, syuhada’, orang-orang shalih, orang-orang yang taat beribadah, ahli zuhud, para wall, orang-orang yang dekat kepada Allah, para ulama, orang-orang yang khusyu’, dan orang-orang yang cinta kepada-Nya, serta orang-orang yang mengikuti para Rasul-Nya.
Dalam hadits shahih telah ditegaskan bahwa jika para malaikat naik menghadap Rabb dengan membawa amal hamba-hamba-Nya, maka Dia akan nanyakan kepada mereka, padahal Dia lebih tahu tentang manusia, “Dalam keadaan bagaimana kalian meninggalkan hamba-hamba Ku?” Mereka menjawab, “Kami datang kepada manusia ketika mereka sedang mengerjakan shalat, kami tinggalkan dalam keadaan mengerjakan shalat pula.” Yang demiki karena mereka datang silih berganti mengawasi kita berkumpul dan bertemu pada waktu shalat Subuh dan shalat Ashar. Maka di antara mereka ada, yang tetap tinggal mengawasi, sedang yang lain lagi naik menghadap Allah dengan membawa amal para hamba-Nya. Ucapan para malaikat, “Kami datangi mereka ketika sedang mengerjakan shalat dan kami tinggalkan mereka juga ketika dalam keadaan mengerjakan shalat,” merupakan tafsiran firman Allah swt. kepada mereka, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Ada juga pendapat yang mengatakan, hal itu merupakan jawaban ucapan para malaikat, yaitu firman-Nya: wa nahnu nusabbihu bihamdika wa nuqaddisulaka (“kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu.”) Maka Dia pun berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Yakni mengetahui akan adanya Iblis di antara kalian, dan Iblis itu bukanlah seperti yang kalian sifatkan untuk diri kalian sendiri. Ada juga yang berpendapat, ucapan para malaikat yang terdapat dalam firman Allah: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” mengandung permohonan agar mereka diturunkan ke bumi untuk menggantikan Adam as. dan keturunannya. Maka Allah berfirman kepada para malaikat: “innii a’lamu maa laa ta’lamuun (“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”) maksudnya tempat tinggal kalian di langit itu lebih baik bagi kalian. Demikian yang dikemukakan oleh ar-Razi’. wallaaHu a’lam.
Baca Juga : Ilmu Dakwah dan Macamnya

Pendapat para Mufasirin
Bersumber dari Hasan al-Bashri dan Qatadah, Ibnu Jarir mengatakan: firman Allah: Innii jaa’ilun fil ardli khaliifata (“Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.”) maksudnya Allah berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku akan melakukan hal itu.” Artinya Dia memberitahukan hal itu kepada para malaikat.
Ibnu Jarir mengatakan: artinya Allah berfirman, “Aku akan menjadikan di muka bumi seorang khalifah dari-Ku yang menjadi pengganti-Ku dalam memutuskan perkara secara adil di antara semua makhluk-Ku. Khalifah tersebut adalah Adam dan mereka yang menempati posisinya dalam ketaatan kepada Allah dan mengambil keputusan secara adil di tengah-tengah umat manusia.”
Berkenaan dengan firman Allah: “Padahal hal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan Mu,” Abdurrazak, dari Mu’ammar, dari Qatadah, berkata: “Tasbih adalah tasbih, sedang taqdis adalah shalat.”
Ibnu Jarir mengatakan, taqdis berarti pengagungan dan penyucian. Misalnya ucapan mereka, “subbuuhun qudduusun” artinya subbuuhun Allah dan qudduusun adalah menyucikan serta pengagungan bagi-Nya. Demikian juga dikatakan untuk bumi, ardlun muqaddasatun (tanah suci).
Dengan demikian, firman-Nya, “Padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu, ” berarti, kami senantiasa menyucikan-Mu dan menjauhkan-Mu dari apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik kepada-Mu. “Dan kami menyucikan-Mu,” artinya, kami menisbatkan kepada-Mu sifat-sifat yang Engkau miliki, yaitu kesucian dari berbagai kenistaan dan dari apa yang dikatakan kepada-Mu oleh orang-orang kafir.
Dalam shahih Muslim diriwayatkan hadits dari Abu Dzar ra: “Bahwa Rasulullah pernah ditanya, ‘Ucapan apa yang paling baik?’ Beliau menjawab, “Yaitu apa yang dipilih oleh Allah bagi para malaikat-Nya; `Maha-suci Allah, segala puji bagi-Nya.”‘
Mengenai firman-Nya, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui,” Qatadah mengatakan, “Allah sudah mengetahui bahwa di antara khalifah itu akan ada Para nabi, rasul, kaum yang shalih, dan para penghuni surga.”
Al-Qurthubi dan ulama lainnya menjadikan ayat ini sebagai dalil yang menunjukkan keharusan mengangkat pemimpin untuk memutuskan perkara di tengah-tengah umat manusia, mengakhiri pertikaian mereka, menolong orang-orang teraniaya dari yang menzhalimi, menegakkan hukum, mencegah berbagai perbuatan keji, dan berbagai hal yang penting lainnya yang tidak mungkin ditegakkan kecuali dengan adanya pemimpin, dan “Sesuatu yang menjadikan suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka sesuatu itu sendiri merupakan hal wajib pula.”
Imamah itu diperoleh melalui nash, sebagaimana yang dikatakan oleh segolongan ulama ahlus sunnah terhadap Abu Bakar. Atau melalui pengisyaratan menurut pendapat lainnya. Atau melalui penunjukkan pada akhir masa jabatan kepada orang lain, sebagaimana yang pernah dilakukan Abu Bakar ash-Shiddiq terhadap Umar bin Khaththab. Atau dengan menyerahkan permasalahan untuk dimusyawarahkan oleh orang-orang shalih, sebagaimana yang pernah dilakukan Umar bin Khatthab. Atau dengan kesepakatan bersama “ahlul halli wal ‘aqdi” untuk membai’atnya, atau dengan bai’at salah seorang dari mereka kepadanya dan dengan demikian wajib diikuti oleh mayoritas anggota. Hal tersebut menurut Imam al-Haramain merupakan ijma’ (konsensus), wallaaHu a’lam. Atau dengan memaksa seseorang menjadi pemimpin untuk selanjutnya taati. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perpecahan dan perselisihan, sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’i.
Apakah harus ada saksi atas terbentuknya imamah ?
Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat. Di antara mereka ada yang menyatakan, bahwasanya hal tersebut tidak disyaratkan. Dan juga yang menyatakan, hal itu memang suatu keharusan dan cukup dua orang saksi saja.
Pemimpin harus seorang laki-laki, merdeka, baligh, berakal, muslim, mujtahid, berilmu, sehat jasmani, memahami strategi perang dan berwawasan luas serta berasal dari suku Quraisy, menurut pendapat yang shahih. Namun tidak disyaratkan harus berasal dari keturunan al-Hasyimi dan tidak harus seorang ma’shum (terlindungi) dari kesalahan. Hal terakhir berbeda dengan pendapat golongan ekstrim Rafidhah (Syi’ah).
Jika seorang imam berbuat kefasikan, apakah ia harus dicopot atau tidak?
Mengenai hal ini terdapat perbedaan pendapat, tetapi yang shahih adalah bahwa pemimpin tersebut tidak perlu dicopot. Berdasarkan sabda Rasulullah: “Kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata sementara kalian memiliki bukti dari Allah dalam hal itu.”
Apakah ia berhak mengundurkan diri ?
Terdapat pula perbedaan pendapat dalam masalah ini. Hasan bin Ali ra. telah mengundurkan diri dan menyerahkan kepemimpinan kepada Mu’awiyah, tetapi hal itu didasarkan pada suatu alasan, dan karena tindakannya itu ia mendapatkan pujian. Sedangkan pengangkatan dua imam (pemimpin) atau lebih di muka bumi (pada masa yang sama), yang demikian sama sekali tidak diperbolehkan. Berdasarkan sabda Rasulullah: “Barangsiapa yang mendatangi kalian sedangkan urusan kalian sudah menyatu, dengan maksud akan memecahbelah kalian, maka bunuhlah ia, siapapun orangnya.” (Kitab Zaadul Masiir)
Yang demikian itu merupakan pendapat jumhurul (mayoritas) ulama. Adapun yang menyatakan ijma’ (konsensus) sebagaimana disebutkan oleh beberapa ulama seperti Imam al-Haramain.

Surah Al-Mu’miun Ayat 12-16 Tentang Proses Penciptaan Manusia





“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. (QS. 23:12) Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). (QS. 23:13) Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta yang paling baik. (QS. 23:14) Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. (QS. 23:15) Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat. (QS. 23:16)” (al-Mu’minuun: 12-16)


1.Asbabun Nuzul 

 Dalam suatu riwayat dikemukaan bahwa pandangan Umar sejalan dengan kehendak dalam empat hal, antara lain mengenai turunnya ayat, Wa la qad khlaqal insane min sulalatim main thin (Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah) (Q.S 23 Al-Mu’minun:12) sampai, … Khalqan Akhar … (… mahluk berbentuk lain…) (Q.S 23 Al-Mu’minun: 14). Pada waktu mendengar ayat tersebut, Umar berkata:Fa tabarakallahu ahsanul khaliqin (Maka Maha Sucilah Allah Pencipta yang Paling Baik).” Maka turunlah akhir ayat tersebut (Q.S Al-Mu’minun: 14) yang sejalan dengan ucapan Umar itu.



2.Tafsir Al-Qur’an Surah Al-Mu’minuun ayat 12-16 Surah Makkiyyah; surah ke 23: 118 ayat


Allah Ta’ala berfirman seraya memberitahukan mengenai permulaan penciptaan manusia dari saripati (berasal) dari tanah, yaitu Adam’. Allah Ta’ala telah menciptakannya dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk.
Mujahid mengemukakan: “Min sulaalatin berarti dari mani anak cucu Adam.” Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Musa, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dari satu genggaman tanah yang digenggam-Nya dari seluruh permukaan bumi. Kemudian anak-anak Adam datang sesuai dengan kadar warna tanah. Di antara mereka ada yang merah, putih, hitam, dan di antara hal tersebut, juga ada yang jahat dan ada juga yang baik, serta di antara keduanya.”
Hadits tersebut telah diriwayatkan Abu Dawud dan at-Tirmidzi. At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shahih.
Tsumma ja’alnaaHu nuth-fatan (“Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani.”) Dhamir (kata ganti) di sini kembali kepada jenis manusia, sebagaimana yang difirmankan Allah dalam ayat yang lain: “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dart saripati air yang jijik (air mani).” (QS. As-Sajdah: 7-8). Maksudnya, lemah dan berpindah dari satu keadaan menuju keadaan yang lain dan dari satu sifat ke sifat yang lain.
Oleh karena itu, di sini Allah Ta’ala berfirman: tsumma ja’alnan nuth-fata ‘alaqatan (“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah.”) Artinya, kemudian Kami jadikan nuthfah, yaitu air yang memancar yang keluar dari tulang rusuk yang berada di tulang punggung laki-laki dan tulang dada wanita, yang berada di antara tulang selangka dan pusar, sehingga menjadi segumpal darah merah yang memanjang. `Ikrimah mengatakan: “Yaitu darah.”
Fakhalaqnal ‘alaqata mudl-ghatan (“Lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging,”) yaitu segumpal daging yang tidak mempunyai bentuk tertentu dan tidak bergaris-garis. Fakhalaqnal mudl-ghata ‘idhaaman (“Dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang-belulang,”) maksudnya, Kami (Allah) berikan bentuk yang memiliki kepala, dua tangan, dua kaki, dengan tulang-tulangnya, urat, dan otot-ototnya.
Dalam hadits shahih dari Abuz Zinad, dari al-A’raj, dari Abu Hurairah, dia bercerita, Rasulullah saw. bersabda: “Setiap jasad anak cucu Adam akan binasa, kecuali satu bagian pangkal ekor, darinya(lah) diciptakan dan padanya disusun.”
Fa kasaunal ‘idhaama lahman (“Lalu tulang-belulang itu Kami bungkus dengan daging.”) Maksudnya, Kami jadikan daging yang dapat menutupi, mengokohkan, dan menguatkan. Tsumma ansya’naaHu khalqan aakhara (“Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang [berbentuk] lain.” ) Yakni, kemudian Kami tiupkan ruh ke dalamnya, sehingga dia pun bergerak dan menjadi makhluk lain yang mempunyai pendengaran, penglihatan, pengetahuan, gerakan, dan goncangan. fatabaarakallaaHu ahsanul khaaliqiin (“Maka Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.”)
Al-‘Aufi menceritakan dari Ibnu `Abbas: Tsumma ansya’naaHu khalqan aakhara (“Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang [berbentuk] lain.”) yakni, Kami pindahkan dari satu keadaan menuju keadaan yang lain sehingga lahir sebagai seorang anak. Setelah itu tumbuh sebagai anak kecil, lalu ia mengalami masa puber dan tumbuh menjadi remaja, selanjutnya tumbuh dewasa, kemudian menjadi tua, hingga akhirnya menjadi tua renta.
Hal serupa juga diriwayatkan dari Qatadah dan adh-Dhahhak, dan tidak ada pertentangan, di mana dari permulaan peniupan ruh ke dalamnya ditetapkan pada berbagai proses dan keadaan. Wallahu a’lam.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah ibnu Mas’ud, ia bercerita, Rasulullah saw. memberitahu kami, yang beliau adalah selalu jujur dan dibenarkan: “Sesungguhnya salah seorang di antara kalian dikumpulkan penciptaannya di dalam perut (rahim) ibunya selama empat puluh hari berupa nuthfah (air mani), kemudian menjadi segumpal darah selama itu juga (empat puluh hari), lalu menjadi gumpalan seperti sekerat daging, selama itu juga, kemudian diutuslah kepadanya Malaikat, maka ia (Malaikat) meniupkan ruh padanya dan Malaikat itu diperintahkan untuk (menulis) empat perkara; rizkinya, ajal (umur)nya, amal perbuatannya, dan (apakah dia) sengsara atau bahagia. Demi Allah yang tiada Ilah (yang haq) selain Dia, sesungguhnya salah seorang diantara kalian akan mengerjakan amalan penghuni surga sehingga (jarak) antara dirinya dengan surga hanya satu hasta saja, namun dia didahului oleh ketetapan (takdir) Allah sehingga dia mengerjakan perbuatan penghuni neraka, hingga akhirnya dia masuk neraka. Dan sesungguhnya salah seorang di antara kalian akan mengerjakan perbuatan penghuni neraka sehingga (jarak) antara dirinya dengan neraka tinggal satu hasta saja, namun ketetapan (takdir) Allah mendahuluinya sehingga dia mengerjakan amal perbuatan penghuni surga, hingga akhirnya dia masuk surga.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Firman Allah Ta’ala: fatabaarakallaaHu ahsanul khaaliqiin (“Maka Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.”) Yakni, ketika Dia menyebutkan kekuasaan dan kelembutan-Nya dalam penciptaan nuthfah ini dari satu keadaan menjadi keadaan yang lain (proses), dari satu bentuk ke bentuk yang lainnya, sehingga menjadi satu bentuk, yaitu manusia yang mempunyai ciptaan yang normal lagi sempurna. Wallahu a’am.
Firman-Nya: tsumma innakum ba’da dzaalika lamayyituun (“Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.”) Yakni, setelah penciptaan yang pertama dari ketiadaan, kalian kelak akan menemui kematian. Tsumma innakum yaumal qiyaamati tub’atsuun (“Kemudian, sesungguhnya kamu semua akan dibangkitkan [dari kuburmu] di hari Kiamat.”) Yakni, penciptaan yang terakhir.
tsummallaaHu yunsyi-un nasy-atal aakhirata (“Kemudian Allah menjadikannya sekali lagi.”) (QS. Al-`Ankabuut: 20). Yakni, pada hari kebangkitan, dan bangkitnya ruh-ruh menuju jasad masing-masing. Lalu semua makhluk dihisab dan setiap pelaku perbuatan akan diberikan balasan sesuai dengan perbuatannya. Jika baik maka dia akan mendapatkan kebaikan, dan jika buruk maka dia akan mendapatkan balasan keburukan pula.

Tujuan Penciptaan Manusia

Adapun tujuan utama allah SWT menciptakan manusia adalah agar manusia dapat menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi. Tugas utama manusia adalah beribadah dan menyembah Allah SWt, menjalani perintahnya serta menjauhi larangannya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT berikut ini
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah Aku.” (QS Adz Zariyat :56).
Sebagai khalifah dimuka bumi manusia hendaknya juga dapat menjaga amanatnya dalam menjaga alam dan isinya. Manusia sememstinya memiliki akhlak dan perilaku yang baik kepada sesama maupun makhluk hidup yang lain.

Demikian, hanya ini yang dapat kami tulis, tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan, karena tak ada gading yang tak retak. Dan kami banyak mengucapkan terimakasih kepada semua yang membantu penulisan artikel ini, khususnya kepada yang menjadi referensi bagi penulisan artikel ini, dan juga kepada para pembaca yang telah mengunjungi blog kami.
Kami akhiri, Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.

Comments

  1. You can claim a welcome bonus lengthy as|so long as} would possibly be} over 21 and model new} sign-up at the on line casino in query. Plus, want to|you should|you have to} be inside state lines when signing up and playing in}. Risk-free bonuses are typically supplied at legal on-line casinos in Pennsylvania. These are similar to cashback deals but are normally larger in measurement. A deposit match bonus 카지노사이트 requires you to switch USD into your account after registration.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Fakta Angka 8 Dalam Islam

Ilmu Dakwah dan Macam-macamnya

PAS Al-Qur'an Hadits Kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah Terbaru